ARCHITECTURE IN THE PACIFIC CENTURY
Terjadi transformasi budaya yang membuahkan arsitektur hibrida pada wilayah ini. Kekayaan keragaman budaya akan berpengaruh pada masa perkembangan Pacific Age. Kelahiran peradaban baru yang memelihara ide-ide dan kreativitas tepat karena sangat kaya akan keragaman. Ini adalah awal dari Pasifik Age, usia yang akan membuka pintu abad ke-21.
Perkembangan ini ditandai dengan berdirinya gedung Hongkong Shanghai Bank karya Norman Foster di kota Hongkong pada tahun 1986. Kota yang sedang berkembang yang mencerminkan ekonomi harimau, Bank dikemas dengan percaya diri, modern, dan menginspirasi arsitek dan pemimpin lokal.
Jepang yang dianggap sudah akan mulai lemai di area pacific akan digantikan oleh ekonomi China yang akan tumbuh melibas perekonomian Amerika Serikat. China menjadi pemicu dalam pertumbuhan ekonomi di Pasific.
Seringnya kebakaran hutan di Sumatera akan berdampak nengatif terhadap Negara-negera sekitarnya seperti Malaysia dan Singapura, dampak kesehatan akan menurun dan berpengaruh pada ekonomi pada kota-kota seperti Jakarta dan Kuala Lumpur, dimana kota-kota tersebut sudah memiliki polusi udara yang buruk. Kebakaran hutan yang sangat merugikan ini tidak pernah ditangani serius oleh pihak Indonesia.
Akar penyebab dari bencana lingkungan ini disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi pada birokrasi ekonomi di Negara-negara Asia Pasifik ini. Penyalahgunaan kekuasaan dan defisiensi ekonomi menghambat perkembangan di Negara ini.
Menjadi pertanyaan serius tentang makna “Abad Pasifik”, dan jenis arsitektur yang berkembang pada masanya. Dimana abad ini ditandai dengan arsitektur banguan tinggi Menara Petronas (Malaysia) dan Wolrd Fincancial Centre (China). Apakah kemajuan ini didorong oleh budaya ekonomi, atau ada pengaruh dari perkembangan teknologi seperti yang diungkapkan Thompson.
Perkembangan politik di Indonesia (reformasi) mungkin juga akan menjadi harapan baru bagi perkembangan di Pacific, agar tidak terjadi bencana dan korupsi.
Perkembangan evolusi manusia terjadi secara pararel yang bersamaan dan tumpang tindih. Ada sejumlah kemungkinan deskripsi dari ekonomi dan pola budaya yang melambangkan pembangunan parallel di Pasifik. Empat bentuk utama dari budaya: ‘budaya tradisional’; ‘budaya kolonial’; ‘budaya konsumen; dan ‘eco Budaya ‘ . Setiap budaya lanjut dipecah menjadi sembilan umum kategori, dari ‘era teknologi’ melalui pola pemukiman dan dibangun bentuk yang mencirikan mereka, dimana persamaan dan perbedaan mereka mungkin dibandingkan.
Arsitektur memberikan gambar nyata dalam hal budaya pararel, dimana titik pertemuan nyata antara budaya baru dan lama dan gaya hidup selaras dengan mereka. Dengan demikian kita menemukan banyak penduduk Asia Pacific masih hidup dalam kondisi pedesaan dan pemukiman sebuah kampung dan rumah adat, tetapi menggunakan sepeda motor, bus atau mobil untuk bekerja di Kota atau kota terdekat, yang mungkin didirikan dan dibentuk oleh kolonialEropa.
Kehidupan pedesaan dan perkotaan yang berjalan seiring di Negara Asia Pacific membuahkan arsitektur yang beragam, dimana arsitektur tradisional local tetap bertahan tetapi arsitektur modern pun berkembang di perkotaan. Orang pedesaan membutuhkan suasan kota sebagai tempat bekerja dan rekreasi, begitu pun sebaliknya, orang perkotaan membutuhkan pedesaan untuk beristirahat dan liburan.
Desntralisasi industry membuat terbentuknya area-area sub-urban dan memberikan suasana dan kelengkapan kehidupan perkotaan di area pedesaan. Peletakan posisi pusat-pusat transportasi seperti bandara yang diluar area perkotaan turut memicu perkembangan di area luar perkotaan dan membentuk kota satelit baru.
Implikasi sosial dan budaya dari perkembangan ini dan pengaruhnya terhadap identitas lokal dan regional yang hangat diperdebatkan. Arsitek dan perencana di daerah, banyak dari mereka tetap menganut gagasan Eurocentric bentuk kota dan ruang, sering enggan untuk menerima perubahan tersebut, dan, bukan tanpa alasan, takut kehilangan setiap wilayah perkotaan.
Kota-kota di Pasifik yang panas dan lembab dengan tingkat polusi kendaraan yang tinggi, sekarang dipenuhi gedung-gedung tinggi yang padat, sebenarnya tidak cocok untuk di Negara-negara tersebut. Akhirnya kebutuhan taman-taman terbuka dibuat diatas gedung-gedung tinggi sebagai taman dan lahan penghijauan.
Pasifik Century kemungkinan besar akan muncul sebagai gabungan dari semua empat budaya, komposit berbeda dari bagian lain dunia, yang memiliki tradisi yang berbeda, sejarah kolonial yang berbeda, berbeda kebiasaan, konsumen dan ekologi yang berbeda.
1.1. PENDAPAT SAYA MENGENAI TULISAN “ARCHITECTURE IN PACIFIC CENTURY”
Chapter ini (buku ini ditulis sebelum tahun 1997) menceritakan pertumbuhan budaya baru di wilayah Pacific dan buku ini diperbaiki isisnya pada masa setelah krisis dunia tahun 1997. Dimana perkembangan arsitektur di Negara-Negara Asia Pasifik dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan perpaduan antara budaya lokal dan budaya barat.
Chris Abel mencoba mengungkapkan dan memprediksi pertumbuhan kehdiupan di Negara berkembang di Pasifik, dengan mengkaitkan arsitektur sebagai artefak dari kebudayaan yang berkembang tersebut. Arsitektur menjadi tolok ukur dalam perkembangan ekonomi, social, budaya, dan teknologi.
Abel menjelaskan perkembangan rural area dan urban area akibat dari dampak ekonomi, teknologi dan desentralisasi industry dapat terbaca pula melalui perkembangan arsitektur, dimana tumbuh bangunan-bangunan tinggi di pusat perkotaan, tumbuh bangunan fasilitas industry di area sub-urban, dan bertahannya arsitektur rumah tradisional di pedesaan.
1.2 PERAN INDONESIA DALAM TULISAN “ARCHITECTURE IN PACIFIC CENTURY”
Dalam tulisan ini Indonesia disinggung secara negative, dimana pembakaran hutan dan pencemaran lingkungan merupakan dampak dari korupsi pada birokrasi di Indonesia yang sangat kuat. Namun dijelaskan pula bahwa gejolak reformasi yang terjadi pada tahun 1997 memberi harapan baru untuk perubahan pertumbuhan ekonomi Indonesaia lebih baik.
Beberapa Negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Bangkok, disinggung tentang perkembangan arsitekturnya yang dikaitkan dengan kemajuan budaya dan ekonomi di Pasifik, tetapi Indonesia tidak disinggung sama sekali.
- TEKNO-EKONOMI DALAM TEORI ARSITEKTUR
Tekno-ekonomi dalam arsitektur merupakan peran penting dalam perkembangna arsitektur saat ini, dimana perkembangan desan, struktur, dan material sangat dipengaruhi perkembangan teknologi yang selanjutnya akan memacu suatu arsitektur yang baru.
Aspek Ekonomi yang banyak mempengaruhi setiap aspek kehidupan, begitu juga pada kehidupan ber-arsitektur. Prinsip-prinsip ekonomi harus diterapkan mulai dari proses perancangan hingga tata laksana pembangunan agar tercipta efisiensi dalam segala hal.
2.1. TEKNO-EKONOMI DALAM TEORI VITRUVIUS
Vitruvius adalah merupakan pelopor arsitektur pada masa Romawi, karya tulis yang terkenalnya adalah “The Ten Books onArchitecture”. Sebuah risalah yang ditulis dalam bahasa Latin pada arsitektur, yang didedikasikan untuk Kaisar Augustus. Dalam kata pengantar dari Buku I, Vitruvius mendedikasikan tulisannya sehingga memberikan pengetahuan pribadi kualitas bangunan untuk kaisar.
Teori yang terkenalnya adalah tiga unsur pembentuk arsitektur yang baik yaitu, firmitas, venustas, dan utilitas. Jika dikaitkan dengan konsep tekno ekonomi makan teori tiga serangkai ini hanya condong membahas kepada titik teknologi saja. Dimana firmitas atau kekokohan menjadi salah satu teori dari Vitruvius tentang suatu struktur teknologi bangunan pada masa klasik.
Tekno Ekonomi dalam arsitektur berhubungan dengan perkembangan teknologi yang berkaitan dengan struktur bangunan dan sumber daya alam maupun manusia dalam mewujudkan suatu karya arsitektur, serta efisiensi dari struktur bangunan sebagai aspek ekonomi yang melekat pada setiap karya arsitektur. Pada teori yang dikemukakan Vitruvius dan perkembangannya tadi bahwa bangunan yang baik harus memiliki keseimbangan antar keindahan, kekuatan, dan fungsi. Keindahan diwujudkan kedalam bentuk dan kekuatan didapat oleh sistem struktur yang memadai. Dengan demikian, posisi tekno-ekonomi di dalam teori arsitektur berada pada lingkup venustas ( keindahan ) dan firmitas ( kekuatan ).
2.2. TEKNO-EKONOMI DALAM “LE CORBUSIER’S LEGACY” – DAVID CAPON
Pada prinsip-prinsip teori arsitektur abad ke 20, banyak sekali unsur teknologi yang melekat pada setiap karya dan filosofi desain yang ditampilakan arsitek pada masa tersebut. Gaya arsitektur yang menerapkan teknologi ini menciptakan pahan filosofinya masing-masing, seperti : dekonstruksi, expresionis, contructivism.
Arsitektur post-modern ini sangat syarat mengekspresikan kemajuan teknologi yang canggih, hal ini dapat kita lihat pada beberapa karya arsitek seperti; Frank Gehry, Norman Foster, dll. Karya-karya arsitektur ini terlihat sangat menuntut konstruksi yang rumit yang hanya dapat dipecahkan oleh teknologi yang tinggi, seperti halnya Walt Disney Opera House yang memilik bentuk yang sangat rumit tersebut.
Dengan teknologi computer ini akan menghasilkan struktur yang efisien dan baik, sehingga tentu saja akan membuahkan efisiensi kerja, durasi pelaksanaan, efiesiensi material yang sangat baik. Secara langsung teknologi maju dalam arsitektur tentu saja akan menghasilkan prinsip ekonomi yang baik pula.
- ASPEK TEKNO-EKONOMI DALAM ARSITEKTUR JEPANG
3.1. FAKTOR KEUNGGULAN BANGSA JEPANG
Bangsa Jepang yang dikenal dengan budaya kerja yang tinggi, Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampat kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi,serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara jepang itu sendiri. Mereka memilik budaya kerja yang dikenal dengan 5S,yaitu Seiri (ringkas), Seiton (rapih), Seisou (resik), Seiketsu (rawat) dan shitsuke (rajin) dalam lakon kerja Jepang terasa memudahkan yang susah Yang kotor menjadi bersih, yang tidak biasa menjadi biasa, sesuatu yang lama menjadi cepat, yang kelihatan ruwet menjadi sederhana. Karena itu mereka menjadi unggul.
Keunggulan budaya kerja ini menghasilkan sebuah produk teknologi yang dapat merubah wajah dunia dan revolusi ekonomi Jepang yang menjadi maju. Mereka dapat menemukan teknologi yang canggih dan bersifat mass produk sehingga dapat bersaing dengan produk eropa yang lebih mahal.
Jepang akhirnya menjadi penguasa teknologi otomotif, elektronika, dan komunikasi. Teknologi yang berbasiskan produktivitas ekonomi mendapat sambutan sangat baik dari warga dunia. Berkat teknologi Jepanga, kini teknologi dapat dinikmati hamper seluruh warga dunia dengan harga yang layak dan kualitas yang baik.
3.2. TEKNO-EKONOMI DALAM ARSITEKTUR JEPANG
Demografis dan struktur tanah Negara Jepang yang labil dan rawan bencana, membuat warga Negara tersebut selalu siaga terhadap setiap bencana yang sewaktu-waktu akan datang. Dengan teknologi konstruksi yang maju, Jepang dapat membangun gedung-gedung tinggi yang anti gempa, membangun shelter-shelter untuk darurat bencana, dan lainnya.
Harga lahan yang cukup mahal di area perkotaan Negara Jepang, seperti Tokyo, membuat para arsitek Jepang harus dapat membuat suatu rancangan bangunan yang super efisien dengan lahan yang terbatas. Karena tuntutan tersebut maka dibuatlah material-material bangunan dengan konstruksi yang ringan, sehingga tidak memerlukan konstruksi yang berat yang banyak membuang ruang dalam bangunan.
TOKYO SKY TREE
Tokyo Sky Tree memiliki ketinggian 634 meter. Menara ini 34 meter lebih tinggi dari Menara Canton di Guangzhou China (yang sebelumnya adalah menara tertinggi di dunia), dan hampir lima kali lebih tinggi dari Monas di Jakarta (132 meter). Meski bangunan tertinggi di dunia masih tetap dipegang oleh Burj Khalifa di Dubai (829 meter), Tokyo Sky Tree tetap sebuah fenomena yang mampu menunjukkan keunggulan konstruksi Jepang
Tokyo Sky Tree, yang terletak di daerah Sumida, Tokyo, adalah menara yang sangat menarik. Bukan hanya karena merupakan menara tertinggi di dunia, namun hal mengagumkan adalah kehebatan Jepang yang berani mendirikan konstruksi pencakar langit di atas tanah yang rawan gempa bumi.
Bagi Jepang, keberadaan menara Tokyo Sky Tree bukan sekedar menara komunikasi. Ia adalah simbol akan masih unggulnya tekhnologi Jepang, khususnya di bidang konstruksi di wilayah rawan bencana.
Tokyo Sky Tree membuktikan teknologi arsitektur Jepang yang maju, Tokyo Skytree yang memiliki gabungan warna putih kebiruan seperti porselen putih yang memberikan kesan bersinar halus ini, juga memiliki pengendali vibrasi seperti sistem Pagoda lima tingkat, di mana struktur Tokyo Skytree terdiri dari dua bagian yang dibangun secara independen. Bagian luar dengan rangka baja dan tiang inti di bagian dalam, di mana tiang inti ini berfungsi untuk menstabilkan struktur utama kala ada goyangan angin kencang atau gempa bumi, dan Pagoda lima tingkat adalah salah satu dari struktur tradisional Jepang.
Untuk pondasi, desainnya harus bisa memikul beban yang besar dikarenakan rampingnya menarik, beserta tegangan tariknya. Maka, pondasi tiang dengan bentuk nodular-wall digunakan untuk memperbesar friction resistance.Tiang-tiang ini membentuk formasi pins of spiked shoes. Masing-masing tiang tersambung dalam arah radial.
Rampingnya struktur menara ini, maka kekhawatiran berayunnya menara ketika diguncang gempa sangat beralasan. Olehnya itu, vibrasi struktur karena gempa mesti dikontrol. Core cylinder kolom menara dari konstruksi beton bertulang diisolasi dari frame baja yang menyelimutinya. Bagian atas core kolom difungsikan sebagai berat penyeimbang. Sistem ini dikenal dengan nama added mass control mechanism. Filosofi kolom tengah ini diambil dari sistem struktur pagoda (menara Budha berlantai lima) yang sejarahnya tidak pernah runtuh walaupun diguncang gempa dahsyat. Pagoda bertahan dari gempa karena kolom Shimbashira, kolom tengah. Untuk Skytree, kolom tengah berupa silinder shell dari beton bertulang, yang juga berfungsi sebagai tangga. Sistem kolom Shimbashira Seishin bisa mereduksi respon geser akibat gempa sebesar 40%.